Rabu, 20 Maret 2024

Kecut Bibir Mengerucut.



KECUT, PIKIRAN YANG TERUS BERLANJUT.

Oh, aku tak pernah berlinang tengah malam sebanjir ini
Mengaku bahwa otak kosong itu adalah diriku sendiri 
Di luar rangkulan para cemerlang intuisi
Dengan aku, dipinggir sebagai ia yang paling tak suci

Oh, menyantap semua tatap dengan tanya tak terpuji
Aku mengorek kulit jemariku berkali-kali tanpa henti
Aku diam namun berisik dalam helai rambut berdarah ini
Sakit, pedih tak pernah membuatku semalu ini

Dan bila ibu mengetahui, apakah aku akan dinasihati?
Bila-bila sebaliknya justru aku diludahi perkataan sayat hati
Meski harap tak ambil solusi guna hirap segala emosi
Aku, tetap tak pandai mengubur pelik ini sendiri

Maaf, bu, pak. 
Jika terlahir dengan kecil prestasi 
Jika terlahir dengan kuncup belati
Jika terlahir namun tak banggakan hati






PRA

Sabtu, 09 Maret 2024

Mengejek Jejak.

Kau harus tahu jika genteng rumah bisa saja bolong saat seringkali terkena air hujan. Begitupun punggung ku, ia bisa bungkuk dan gemetar saat seringkali ditikam redam. Menutup paras sebab percaya kalimat 'LELAKI TAK BOLEH MENANGIS' yang seringkali digadang-gadangkan oleh bapak, namun sadis, air matanya tetap keluar tak habis-habis. Mereka benar, aku kaku, aku tak pandai merangkai cerita nuansa pilu apalagi yang berselimut senyum malu-malu. Aku hanya akan diam, bagaimanapun saat aku dalam keadaan.

"Jangan bilang capek!" Begitu pekiknya.

Ini adalah alasanku menutup mulut dan menjadi bincang yang seringkali terdengar kikuk. Lantas berbanding terbalik saat anaknya yang lain mengeluh soal hidup yang piluh. Beliau akan langsung menyuruhnya untuk rehat bahkan disiapkan nasi dengan lauk serta minuman hangat. Dilegakan oleh semrawut pekerjaan rumah yang seharusnya diurus oleh semua anggota keluarga, bukan hanya aku saja.

Padahal yang baru pertama kali menjadi manusia bukan mereka saja justru aku juga. Yang baru pertama kali buat salah bukan mereka saja justru aku juga. Yang layak diberi kasih tanpa pilih kasih itu bukan mereka saja justru aku juga. AKU JUGA, BUK, PAK! Aku iri aku bilang.

Dari dalam kamar ibu meraup melas bagai kasihan, katanya, "Ibu tidak pernah membeda-bedakan kalian. Semua anak ibu sama." 

Lantas jika benar akupun tak mungkin merasa mati hati. Sampai rasanya jauh akan sama yang dilontarkan ibu tadi. 

"Aku tuh anaknya bukan sih?"

Oh, maaf. Seribu juta aku mohon maaf jika terkesan tidak pernah ucap syukur atas apa yang telah diukur untuk takdir ku sekarang. Aku hanya bersedih. Tolong jangan larang aku kali ini. Lagipula tangis ku tak bersuara, aku sudah pandai mengkamuflase rintihan sedih dalam dada. Kalau begini apa aku sudah pantas untuk ikut casting menjadi pelakon alih-alih hilangkan julukan sebagai beban beton? Ah, tolol. Mana mungkin.

Bila bisa seindah itu akupun tak mungkin mengeluh lagi seperti sekarang. Melihat awan yang tak ada bintang, duduk diantara genteng bolong serta usang. Moga-moga tak ada setan yang mendorong ku hingga jatuh ke bawah dan berakhir patah tulang. 

Petak Retak?

Siapa yang berguna akan disanjung Siapa yang tak berguna akan dirundung Siapa? Siapa? Tentu aku. Pada kalimat dibaris kedua aku digambarkan ...